Polsek Dilarang Usut Perkara
PANGKALPINANG-Gagasan Wakil Direktur Pembinaan Masyarakat (Wadir Binmas) Baharkam Mabes Polri Kombes Daud Sihombing yang meminta pengusutan perkara hanya dilakukan jajaran polres tanpa melibatkan polsek, seakan termentahkan dengan melihat jumlah personil kepolisian khususnya di Polda Babel.
Berdasarkan data kekuatan Polri dan PNS Tahun 2012 di Jajaran Polda Babel, jumlah personil Polda hanya 3144 orang. Terdiri dari 962 personil di Polda dan 2182 personil di seluruh jajaran polres.
Kepala Biro Operasional Polda Babel Kombes Pol Guntur Widodo didampingi Kabid Humas AKBP Indra.,S.Ik kepada wartawan, Rabu (2/12) di ruang kerjanya menjelaskan, setidaknya untuk Polda sendiri dibutuhkan 3.510 personil. Sedangkan sekarang, hanya berjumlah 962 personil atau sekitar 30 persen. "Jadi kita masih kekurangan 2.548 personel," jelasnya.
Sedangkan untuk Polres jajaran, lanjut Guntur, dibutuhkan sebanyak 5244 personil, sementara sampai saat ini jumlah anggota polisi yang ada di jajaran Polres hanya berjumlah 2.182 personil. "Karena itu masih kekurangan 3.062 personil untuk jajaran Polres. Dalam hal ini artinya baru 38 persen saja jumlah personil Polres jajaran baru tercukupi," ujarnya.
Guntur menambahkan, jumlah PNS di Polda Babel saat ini terdata 99 orang yang terdiri dari 65 PNS berdinas di Mapolda Babel dan 34 PNS berdinas di seluruh Polres Jajaran.
Jumlah PNS ini juga, kata Guntur, sebenarnya masih kurang jika dibandingkan dengan kebutuhan seharusnya yakni sebanyak 871 PNS. "Harusnya PNS berdinas di Mapolda 541 dan berdinas di Polres Jajaran sebanyak 330 PNS," urainya.
Kendati masih kurangnya jumlah personil, diakui Guntur, Polda Babel sudah memberikan pelayanan yang terbaik kepada masyarakat.
Dengan jumlah demikian, pakar hukum Babel, Faisal.,SH.,MH menilai gagasan tersebut belum cocok diterapkan di Indonesia. Apalagi jika yang menjadi perbandingannya adalah negara maju seperti Jepang. "Kalau perbandingannya adalah Jepang saya rasa kalau melihat dari aspek sosiologisnya Jepang lebih kepada budaya bukan hukum, jadi istilahnya Jepang malah tidak butuh polisi," ujarnya.
Ia mengatakan jika perbedaan kultur antara Indonesia dan Jepang inilah yang menjadi faktor kurang cocoknya penerapan sistem tersebut. "Saya kira kita (Indonesia) untuk urusan budaya masih lemah, jadi hukum masih sangat perlu adanya Polsek untuk menjembatani sosial antara masyarakat," terang akademisi UBB itu.
Justru yang harus menjadi pekerjaan rumah yang dilakukan institusi Polri menurut Faisal adalah ketegasan Polisi dalam menangani perkara, dan sistem mutasi. "Kalau berbicara pada ranah keamanan itu berbicara pada masalah hukum, jadi kalau Polsek tidak diberikan tanggung jawab apakah Polres sanggup mencakup hingga ke kecamatan," tanyanya.
Yang menjadi aspek penting yang juga harus dilihat oleh Polri adalah mengenai kuantitas Polri dan juga sistem mutasi yang mana menurutnya pada sistem mutasi yang diterapkan sekarang tidak efektif. "Sistem mutasi tidak sesuai dengan kultur sosial masyarakat kita, karena seringkali setiap bulan atau setiap tahun sudah dimutasi," katanya.
Ia melanjutkan, seharusnya polisi yang bertugas di daerah tertentu harus bertahan lebih lama di daerah tersebut untuk dapat melihat sosial dan kebiasaan masyarakat setempat. Oleh karena itu ia menganggap birokrasi Kepolisian saat ini sudah benar hanya saja pekerjaan rumah seperti yang disampaikan sebelumnyalah yang seharusnya dilakukan oleh Polisi. Namun jika hal itu tetap akan diterapkan ia tidak mempermasalahkan selama itu akan menimbulkan efek positif ke depannya bagi masyarakat. "Kalau itu bagus tidak masalah itu diterapkan untuk pembangunan sistem birokrasi, karena tugas polisi sejak era reformasi tugas Polisi sudah menjadi petugas sipil yang harus mengayomi dan melindungi masyarakat, itu sah-sah saja," ungkapnya.
Hanya saja bagaimana Polisi dalam mensosialisasikan adanya pembatasan peran ditubuh mereka sendiri kepada masyarakat siapa yang berhak melakukan pengamanan dan siapa yang melakukan pembinaan.
Sebelumnya, Kombes Daud Sihombing menuturkan, ia mengusulkan supaya polsek tidak lagi dibebani tanggung jawab menangani perkara. Sebagai gantinya, penanganan perkara ini minimal ditangani oleh polres. "Ini masih masukan atau saran. Tugas saya memang untuk memberikan saran ke atasan," katanya dalam diskusi bersama komunitas Senkom Mitra Polri di Jakarta kemarin. Diketahui sebelumnya, Daud menuturkan, sistem baru ini bukan berarti menghapus wewenang penanganan perkara oleh polisi di level terbawah atau unit terkecil. "Mereka (polisi) tetap berwenang. Tapi, penanganan perkara dilakukan oleh satuan di atas polsek," katanya.
Sistem seperti ini merujuk pada tata kelola kepolisian di Jepang. Di negeri Sakura itu, penanganan perkara tidak dilakukan oleh satuan polisi paling kecil. Jika di Indonesia setingkat polsek.
Menurut Daud, ke depan tugas polsek fokus untuk pembinaan ketertiban di masyarakat. Selain itu, juga penggalangan masyarakat dan juru damai jika ada konflik di masyarakat.
Pembebasan tugas polsek untuk mengusut atau menangani perkara kriminal juga menguntungkan polsek-polsek guram. Di mana, polsek-polsek ini memiliki jumlah personel yang sangat kecil. "Gagasan ini sekaligus untuk mengatasi kasus-kasus mapolsek yang dibakar warga," katanya.
Daud menjelaskan, polsek yang memiliki jumlah personel kecil sangat rentan bergesekan atau bahkan diserang warga jika ada perselisihan dalam penanganan suatu perkara.
Dia mencontohkan ada polsek yang memiliki personel hanya sebelas orang. Dengan pembagian tiga sift, otomatis hanya ada tiga polisi yang bertugas efektif setiap sift-nya. "Misalnya menghadapi sepuluh masyarakat saja yang complain, mereka bisa ketar-ketir," katanya.
Kasus-kasus konflik atau gesekan antara warga dengan polsek tidak akan terjadi jika tugas polsek ditata ulang. Dengan fokus pembinaan masyarakat, polsek dengan postur jumlah personel kecil kemungkinan tidak lagi menjadi sasaran amuk masyarakat.
Usulan polsek tidak boleh menangani perkara kriminal bisa jadi bakal penuh perdebatan di internal Polri. Sebab, kini muncul anggapan jika penanganan perkara merupakan salah satu sumber pendanaan polsek.
Menanggapi tudingan ini, Daud menjawab diplomatis. Dia mengatakan jika anggaran Polri yang bersumber dari APBN hanya memenuhi 30 persen ongkos kegiatan mereka. "Sehingga ada partisipasi masyarakat, ada masyarakat yang mendukung kegiatan polisi," kata dia. (sap/rga/jpnn)
RADAR BANGKA
PANGKALPINANG-Gagasan Wakil Direktur Pembinaan Masyarakat (Wadir Binmas) Baharkam Mabes Polri Kombes Daud Sihombing yang meminta pengusutan perkara hanya dilakukan jajaran polres tanpa melibatkan polsek, seakan termentahkan dengan melihat jumlah personil kepolisian khususnya di Polda Babel.
Berdasarkan data kekuatan Polri dan PNS Tahun 2012 di Jajaran Polda Babel, jumlah personil Polda hanya 3144 orang. Terdiri dari 962 personil di Polda dan 2182 personil di seluruh jajaran polres.
Kepala Biro Operasional Polda Babel Kombes Pol Guntur Widodo didampingi Kabid Humas AKBP Indra.,S.Ik kepada wartawan, Rabu (2/12) di ruang kerjanya menjelaskan, setidaknya untuk Polda sendiri dibutuhkan 3.510 personil. Sedangkan sekarang, hanya berjumlah 962 personil atau sekitar 30 persen. "Jadi kita masih kekurangan 2.548 personel," jelasnya.
Sedangkan untuk Polres jajaran, lanjut Guntur, dibutuhkan sebanyak 5244 personil, sementara sampai saat ini jumlah anggota polisi yang ada di jajaran Polres hanya berjumlah 2.182 personil. "Karena itu masih kekurangan 3.062 personil untuk jajaran Polres. Dalam hal ini artinya baru 38 persen saja jumlah personil Polres jajaran baru tercukupi," ujarnya.
Guntur menambahkan, jumlah PNS di Polda Babel saat ini terdata 99 orang yang terdiri dari 65 PNS berdinas di Mapolda Babel dan 34 PNS berdinas di seluruh Polres Jajaran.
Jumlah PNS ini juga, kata Guntur, sebenarnya masih kurang jika dibandingkan dengan kebutuhan seharusnya yakni sebanyak 871 PNS. "Harusnya PNS berdinas di Mapolda 541 dan berdinas di Polres Jajaran sebanyak 330 PNS," urainya.
Kendati masih kurangnya jumlah personil, diakui Guntur, Polda Babel sudah memberikan pelayanan yang terbaik kepada masyarakat.
Dengan jumlah demikian, pakar hukum Babel, Faisal.,SH.,MH menilai gagasan tersebut belum cocok diterapkan di Indonesia. Apalagi jika yang menjadi perbandingannya adalah negara maju seperti Jepang. "Kalau perbandingannya adalah Jepang saya rasa kalau melihat dari aspek sosiologisnya Jepang lebih kepada budaya bukan hukum, jadi istilahnya Jepang malah tidak butuh polisi," ujarnya.
Ia mengatakan jika perbedaan kultur antara Indonesia dan Jepang inilah yang menjadi faktor kurang cocoknya penerapan sistem tersebut. "Saya kira kita (Indonesia) untuk urusan budaya masih lemah, jadi hukum masih sangat perlu adanya Polsek untuk menjembatani sosial antara masyarakat," terang akademisi UBB itu.
Justru yang harus menjadi pekerjaan rumah yang dilakukan institusi Polri menurut Faisal adalah ketegasan Polisi dalam menangani perkara, dan sistem mutasi. "Kalau berbicara pada ranah keamanan itu berbicara pada masalah hukum, jadi kalau Polsek tidak diberikan tanggung jawab apakah Polres sanggup mencakup hingga ke kecamatan," tanyanya.
Yang menjadi aspek penting yang juga harus dilihat oleh Polri adalah mengenai kuantitas Polri dan juga sistem mutasi yang mana menurutnya pada sistem mutasi yang diterapkan sekarang tidak efektif. "Sistem mutasi tidak sesuai dengan kultur sosial masyarakat kita, karena seringkali setiap bulan atau setiap tahun sudah dimutasi," katanya.
Ia melanjutkan, seharusnya polisi yang bertugas di daerah tertentu harus bertahan lebih lama di daerah tersebut untuk dapat melihat sosial dan kebiasaan masyarakat setempat. Oleh karena itu ia menganggap birokrasi Kepolisian saat ini sudah benar hanya saja pekerjaan rumah seperti yang disampaikan sebelumnyalah yang seharusnya dilakukan oleh Polisi. Namun jika hal itu tetap akan diterapkan ia tidak mempermasalahkan selama itu akan menimbulkan efek positif ke depannya bagi masyarakat. "Kalau itu bagus tidak masalah itu diterapkan untuk pembangunan sistem birokrasi, karena tugas polisi sejak era reformasi tugas Polisi sudah menjadi petugas sipil yang harus mengayomi dan melindungi masyarakat, itu sah-sah saja," ungkapnya.
Hanya saja bagaimana Polisi dalam mensosialisasikan adanya pembatasan peran ditubuh mereka sendiri kepada masyarakat siapa yang berhak melakukan pengamanan dan siapa yang melakukan pembinaan.
Sebelumnya, Kombes Daud Sihombing menuturkan, ia mengusulkan supaya polsek tidak lagi dibebani tanggung jawab menangani perkara. Sebagai gantinya, penanganan perkara ini minimal ditangani oleh polres. "Ini masih masukan atau saran. Tugas saya memang untuk memberikan saran ke atasan," katanya dalam diskusi bersama komunitas Senkom Mitra Polri di Jakarta kemarin. Diketahui sebelumnya, Daud menuturkan, sistem baru ini bukan berarti menghapus wewenang penanganan perkara oleh polisi di level terbawah atau unit terkecil. "Mereka (polisi) tetap berwenang. Tapi, penanganan perkara dilakukan oleh satuan di atas polsek," katanya.
Sistem seperti ini merujuk pada tata kelola kepolisian di Jepang. Di negeri Sakura itu, penanganan perkara tidak dilakukan oleh satuan polisi paling kecil. Jika di Indonesia setingkat polsek.
Menurut Daud, ke depan tugas polsek fokus untuk pembinaan ketertiban di masyarakat. Selain itu, juga penggalangan masyarakat dan juru damai jika ada konflik di masyarakat.
Pembebasan tugas polsek untuk mengusut atau menangani perkara kriminal juga menguntungkan polsek-polsek guram. Di mana, polsek-polsek ini memiliki jumlah personel yang sangat kecil. "Gagasan ini sekaligus untuk mengatasi kasus-kasus mapolsek yang dibakar warga," katanya.
Daud menjelaskan, polsek yang memiliki jumlah personel kecil sangat rentan bergesekan atau bahkan diserang warga jika ada perselisihan dalam penanganan suatu perkara.
Dia mencontohkan ada polsek yang memiliki personel hanya sebelas orang. Dengan pembagian tiga sift, otomatis hanya ada tiga polisi yang bertugas efektif setiap sift-nya. "Misalnya menghadapi sepuluh masyarakat saja yang complain, mereka bisa ketar-ketir," katanya.
Kasus-kasus konflik atau gesekan antara warga dengan polsek tidak akan terjadi jika tugas polsek ditata ulang. Dengan fokus pembinaan masyarakat, polsek dengan postur jumlah personel kecil kemungkinan tidak lagi menjadi sasaran amuk masyarakat.
Usulan polsek tidak boleh menangani perkara kriminal bisa jadi bakal penuh perdebatan di internal Polri. Sebab, kini muncul anggapan jika penanganan perkara merupakan salah satu sumber pendanaan polsek.
Menanggapi tudingan ini, Daud menjawab diplomatis. Dia mengatakan jika anggaran Polri yang bersumber dari APBN hanya memenuhi 30 persen ongkos kegiatan mereka. "Sehingga ada partisipasi masyarakat, ada masyarakat yang mendukung kegiatan polisi," kata dia. (sap/rga/jpnn)
RADAR BANGKA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar