Penanganan Minimal Polres, Gara-Gara Personel Terbatas
JAKARTA - Gagasan radikal muncul dari jajaran Badan Pemeliharan Keamanan (Baharkam) Mabes Polri. Wakil Direktur Pembinaan Masyarakat (Wadir Binmas) Baharkam Mabes Polri Kombes Daud Sihombing mengatakan, pihaknya sedang menggodok sistem baru pengusutan perkara di polsek, jajaran polri paling bawah.
Perwira dengan tiga melati di pundak itu menuturkan, polsek tidak lagi dibebani tanggung jawab menangani perkara. Sebagai gantinya, penanganan perkara ini minimal ditangani polres.
"Ini masih masukan atau saran. Tugas saya memang untuk memberikan saran ke atasan," katanya dalam diskusi bersama komunitas Senkom Mitra Polri di Jakarta kemarin (31/12).
Daud menuturkan, sistem baru ini bukan berarti menghapus wewenang penanganan perkara oleh polisi di level terbawah atau unit terkecil. "Mereka (polisi) tetap berwenang. Tetapi penanganan perkara dilakukan oleh satuan di atas polsek," katanya.
Sistem seperti ini merujuk pada tata kelola kepolisian di Jepang. Di negeri Sakura, penanganan perkara tidak dilakukan oleh satuan polisi paling kecil, jika di Indonesia setingkat polsek.
Menurut Daud, ke depan tugas polsek fokus untuk pembinaan ketertiban di masyarakat. Selain itu juga penggalangan masyarakat dan juru damai jika ada konflik di masyarakat.
Pembebasan tugas polsek untuk mengusut atau menangani perkara kriminal juga menguntungkan polsek-polsek gurem. Polsek-polsek ini memiliki jumlah personel yang sangat kecil.
"Gagasan ini sekaligus untuk mengatasi kasus-kasus mapolsek yang dibakar warga," katanya. Daud menjelaskan, polsek yang memiliki jumlah personel kecil sangat rentan bergesekan atau bahkan diserang warga jika ada perselisihan dalam penanganan suatu perkara.
Dia mencontohkan ada polsek yang memiliki personel hanya sebelas orang. Dengan pembagian tiga shift, otomatis hanya ada tiga polisi yang bertugas efektif setiap shift.
"Misalnya menghadapi sepuluh masyarakat saja yang complain, mereka bisa ketar-ketir," katanya.
Kasus-kasus konflik atau gesekan antara warga dengan polsek tidak akan terjadi jika tugas polsek ditata ulang. Dengan fokus pembinaan masyarakat, polsek dengan jumlah personel kecil kemungkinan tidak lagi menjadi sasaran amuk masyarakat.
Usulan polsek tidak boleh menangani perkara kriminal bisa jadi bakal penuh perdebatan di internal Polri. Sebab saat ini muncul anggapan jika penanganan perkara merupakan salah satu sumber pendanaan polsek.
Menanggapi tudingan ini, Daud menjawab diplomatis. Dia mengatakan jika anggaran Polri yang bersumber dari APBN hanya memenuhi 30 persen ongkos kegiatan mereka. "Sehingga ada partisipasi masyarakat, ada masyarakat yang mendukung kegiatan polisi," kata dia.
Tetapi Daud tidak sepakat jika polisi memasang tarif besar kepada korban kejahatan dalam penuntasan perkara. "Jangan sampai yang hilang kambing, setelah lapor polisi sapinya juga ikut hilang. Ini tidak boleh," ujarnya lantas tertawa.
Selain gagasan sistem penanganan perkara kejahatan itu, Daud juga mengatakan soal ketersediaan personel polisi. Dia mengatakan jika tahun depan Polri mendapatkan jatah 20 ribu personel baru. Menurut Daud, seluruh personel ini tersebar seluruh Indonesia.
Ketersediaan jumlah personel polisi yang cukup menurutnya menunjang kinerja pelayanan masyarakat. Diantaranya adalah pelayanan satu desa satu polisi atau Babinkantibmas. Dia mengatakan jika jumlah desa di Indonesia mencapai 76 ribu lebih. Saat ini belum seluruh desa di Indonesia ada minimal satu personel polisi untuk menjaga keamanan dan ketertiban. (wan/jpnn/che/k5) | KALTIMPOST
JAKARTA - Gagasan radikal muncul dari jajaran Badan Pemeliharan Keamanan (Baharkam) Mabes Polri. Wakil Direktur Pembinaan Masyarakat (Wadir Binmas) Baharkam Mabes Polri Kombes Daud Sihombing mengatakan, pihaknya sedang menggodok sistem baru pengusutan perkara di polsek, jajaran polri paling bawah.
Perwira dengan tiga melati di pundak itu menuturkan, polsek tidak lagi dibebani tanggung jawab menangani perkara. Sebagai gantinya, penanganan perkara ini minimal ditangani polres.
"Ini masih masukan atau saran. Tugas saya memang untuk memberikan saran ke atasan," katanya dalam diskusi bersama komunitas Senkom Mitra Polri di Jakarta kemarin (31/12).
Daud menuturkan, sistem baru ini bukan berarti menghapus wewenang penanganan perkara oleh polisi di level terbawah atau unit terkecil. "Mereka (polisi) tetap berwenang. Tetapi penanganan perkara dilakukan oleh satuan di atas polsek," katanya.
Sistem seperti ini merujuk pada tata kelola kepolisian di Jepang. Di negeri Sakura, penanganan perkara tidak dilakukan oleh satuan polisi paling kecil, jika di Indonesia setingkat polsek.
Menurut Daud, ke depan tugas polsek fokus untuk pembinaan ketertiban di masyarakat. Selain itu juga penggalangan masyarakat dan juru damai jika ada konflik di masyarakat.
Pembebasan tugas polsek untuk mengusut atau menangani perkara kriminal juga menguntungkan polsek-polsek gurem. Polsek-polsek ini memiliki jumlah personel yang sangat kecil.
"Gagasan ini sekaligus untuk mengatasi kasus-kasus mapolsek yang dibakar warga," katanya. Daud menjelaskan, polsek yang memiliki jumlah personel kecil sangat rentan bergesekan atau bahkan diserang warga jika ada perselisihan dalam penanganan suatu perkara.
Dia mencontohkan ada polsek yang memiliki personel hanya sebelas orang. Dengan pembagian tiga shift, otomatis hanya ada tiga polisi yang bertugas efektif setiap shift.
"Misalnya menghadapi sepuluh masyarakat saja yang complain, mereka bisa ketar-ketir," katanya.
Kasus-kasus konflik atau gesekan antara warga dengan polsek tidak akan terjadi jika tugas polsek ditata ulang. Dengan fokus pembinaan masyarakat, polsek dengan jumlah personel kecil kemungkinan tidak lagi menjadi sasaran amuk masyarakat.
Usulan polsek tidak boleh menangani perkara kriminal bisa jadi bakal penuh perdebatan di internal Polri. Sebab saat ini muncul anggapan jika penanganan perkara merupakan salah satu sumber pendanaan polsek.
Menanggapi tudingan ini, Daud menjawab diplomatis. Dia mengatakan jika anggaran Polri yang bersumber dari APBN hanya memenuhi 30 persen ongkos kegiatan mereka. "Sehingga ada partisipasi masyarakat, ada masyarakat yang mendukung kegiatan polisi," kata dia.
Tetapi Daud tidak sepakat jika polisi memasang tarif besar kepada korban kejahatan dalam penuntasan perkara. "Jangan sampai yang hilang kambing, setelah lapor polisi sapinya juga ikut hilang. Ini tidak boleh," ujarnya lantas tertawa.
Selain gagasan sistem penanganan perkara kejahatan itu, Daud juga mengatakan soal ketersediaan personel polisi. Dia mengatakan jika tahun depan Polri mendapatkan jatah 20 ribu personel baru. Menurut Daud, seluruh personel ini tersebar seluruh Indonesia.
Ketersediaan jumlah personel polisi yang cukup menurutnya menunjang kinerja pelayanan masyarakat. Diantaranya adalah pelayanan satu desa satu polisi atau Babinkantibmas. Dia mengatakan jika jumlah desa di Indonesia mencapai 76 ribu lebih. Saat ini belum seluruh desa di Indonesia ada minimal satu personel polisi untuk menjaga keamanan dan ketertiban. (wan/jpnn/che/k5) | KALTIMPOST
Tidak ada komentar:
Posting Komentar